Kamis, Juli 03, 2008

Pemanfaatan Teori Lokasi, Teori Pelayanan dan Teori Pendidikan Dalam Perencanaan Dikdas

Pemanfaatan Teori Lokasi, Teori Pelayanan dan Teori Pendidikan Dalam Perencanaan Dikdas
Latar Belakang

Penyediaan minimal fasilitas pendidikan yang diperlukan suatu kota harus dapat memenuhi kebutuhan penduduk sampai tingkat pendidikan menengah. Penyediaan fasilitas pendidikan tersebut selain disediakan oleh pemerintah juga dapat didukung oleh pihak swasta dalam bentuk yayasan pendidikan.
Untuk membangun manusia unggul harus berangkat dari filosofi pertumbuhan dan perkembangan manusia. Menata pendidikan mereka sejak dini merupakan sesuatu yang mutlak. Jika mutu pendidikan dasar (Dikdas) baik, apakah itu bangunannya, fasilitas belajar, maupun buku serta gurunya, maka baiklah selanjutnya. Sekolah yang bermutu dan sehat akan memicu gairah belajar anak. Mereka akan menganggap sekolah sebagai tempat yang menyenangkan. Sekolah dapat berubah menjadi wahana yang memikat bukan sebaliknya, membuat siswa tidak betah bahkan takut.
Menciptakan kondisi sekolah yang ideal seperti itu berarti kita sudah mulai membangun fondasi kokoh dalam pengembangan SDM. Memang, hasilnya tidak serta merta terlihat dalam lima-enam tahun kedepan. Tapi kita telah menciptakan generasi unggul karena hitungan investasi SDM akan kelihatan hasilnya pada generasi berikutnya. Pendidikan dasar (Dikdas) merupakan pondasi dalam menghasilkan Insan Indonesia Cerdas dan Kompetitif (Insan Kamil / Insan Paripurna)
Untuk meningkatkan akses dan pemerataan pelayanan pendidikan dasar yang bermutu dan terjangkau bagi semua penduduk, melalui pendidikan formal SD sampai SLTP atau bentuk pendidikan lain yang sederajad, perlu sebuah perencanaan spasial yang matang berkaitan dengan pembangunan lokasi sekolah yang aksessible, mudah dijangkau dan kondusif bagi terciptanya proses belajar mengajar.

Permasalahan

Permasalahan yang timbul dalam penyediaan DIKDAS menyangkut akses mendapatkan pendidikan yang berkaitan dengan tingkat pelayanan sekolah yang belum bisa merata di berbagai daerah, sehingga menimbulkan banyaknya anak putus sekolah terutama di daerah–daerah tertinggal. Pemerintah pusat melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 24 Tahun 2007 tentang standar sarana prasarana minimum sekolah berusaha melakukan pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan agar semua warga Indonesia bisa menikmati pendidikan dasar. Akan tetapi tidak semua daerah bisa memenuhi standar minimal tersebut. Beberapa sekolah yang ada di perkotaan sudah melebihi kapasitas daya tampung siswanya, sedangkan banyak sekolah dasar di desa terpencil yang hampir tidak ada siswanya.
Ini sebuah masalah pendidikan yang tidak bisa diselsaikan hanya dengan perencanaan manajemen tetapi juga menyangkut spasial wilayah yang harus dicarikan solusinya secara bersama.


Pembahasan
Untuk menurunkan angka putus sekolah terutama di daerah pedesaan maka fasilitas pendidikan, program perluasan dan akses pendidikan perlu adanya suatu pengembangan model layanan alternatif pendidikan untuk menampung siswa di daerah tersebut. Berdasarkan pengalaman penyusun sebagai tim Pemetaan Sekolah tahun 2006, bisa diambil gambaran ; Luas wilayah kecamatan Sungailiat sekitar 27, 50 km2, sedangkan sebaran sekolah/madrasah, khususnya Dikdas (SD, SLTP) berada di wilayah yang sebagian besar berhimpitan lokasinya dengan cakupan luas sekitar 5,90 km2. Sehingga masih terdapat sejumlah wilayah yang kurang mendapatkan pelayanan secara optimal berdasarkan kriteria penempatan sekolah di kecamatan Sungailiat Ibukota KabupatenBangka.
Terkait dengan pelayanan dalam kota, Walter Christallei timr (1933) dan August Losch (1936), secara terpisah mengembangkan teori tempat pusat (central place theory). Konsep utama dalam teori ini adalah apa yang dinamakan dengan the range of good dan the threshold value (UN, 1979 : 53). Range of good service merupakan jarak yang ditempuh para konsumen menuju suatu tempat untuk mendapatkan pelayanan, adapun threshold value atau threshold population merupakan jumlah penduduk minimal yang dibutuhkan suatu unit pelayanan sebelum dapat beroperasi secara menguntungkan (Daldjoeni:1992:104).
Letak suatu sekolah, diharapkan dalam suatu lokasi yang baik atau optimal. Menurut Daldjoeni (1992:61), lokasi optimal adalah lokasi yang terbaik secara ekonomis. Model yang sederhana dari teori lokasi adalah memperoleh keuntungan ekonomi dengan cara meminimkan biaya transportasi. Para ahli ekonomi mempunyai kecocokan dengan model biaya transportasi, produk yang mempunyai biaya pengiriman tinggi, cenderung sensitif terhadap biaya trasportasi (Blair, 1995 : 43). Menurut John P.Blair dan Robert Premus, dalam perkembangannya, variasi mengenai ruang di dalam ukuran pasar, perbedaan biaya produksi, kenyamanan wilayah, kemajuan teknologi dan faktor lain, terintegrasi ke dalam model yang kompleks dalam proses pengambilan keputusan mengenai lokasi (Bingham dan Mier,ed., 1993 : 3).Transportasi dengan mobilitas tinggi akan mempunyai perkembangan fisik berbeda dengan jalur-jalur daerah transportasi lain, akibatnya keruangan yang timbul adalah suatu bentuk persebaran keruangan. Dalam hal ini, aksesibilitas diartikan dalam perbandingan antara waktu dan biaya ( time-cost term ) dalam hubungannya dengan sistem transportasi yang ada. Berkaitan dengan lokasi sekolah, unsur waktu (jarak) dan biaya merupakan factor penting dalam merencanakan suatu lokasi sekolah. Lokasi sekolah yang dekat, prasarana jalan yang baik, ditunjang fasilitas yang lengkap menciptakan sekolah yang ideal sehingga kapasitas akan terpenuhi, ini terjadi untuk sekolah-sekolah di perkotaan umumnya atau di perdesaan yang sudah maju. Tapi untuk daerah terpencil kendala lokasi jarak dan sulitnya atau mahalnya biaya transportasi menjadi kendala pemenuhan kapasitas daya tampung sekolah, sehingga banyak sekolah yang kekurangan siswa, atau angka partisipasi siswa untuk bersekolah kecil.

Desentralisasi pendidikan dilakukan oleh pemerintah pusat dengan memberikan kewenangan daerah untuk merencanakan serta mengelola pendidikan di daerah masing-masing sesuai kearifan local. Untuk menyikapi permasalahan Pengelolaan pendidikan yang menjadi wewenang pemerintah daerah ini dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas manajemen pendidikan, sehingga diharapkan dapat memperbaiki kinerja pendidikan nasional melaui otonomi pengelolaan pendidikan daerah.
Pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana pendidikan dapat dilakukan melalui pembangunan USB, RKB, laboratorium, perpustakaan, buku pelajaran buku non-teks pelajaran/bacaan lainnya dan sarana belajar. Perluasan USB Dikdas akan diarahkan untuk lebih banyak dilakukan oleh penyelenggara pendidikan swasta dengan tetap memperhatikan standar nasional pendidikan.
Pemerintah daerah dalam menyelesaikan permasalahan perluasan kesempatan dan pemerataan pendidikan serta peningkatan mutu pendidikan dapat melakukan pendekatan dengan beberapa cara antara lain ;
1. Penambahan Ruang Kelas Baru
Penambahan ruang kelas baru dilakukan untuk memenuhi kekurangan ruang kelas dan menambah daya tampung. Pemenuhan ruang kelas diberikan kepada sekolah yang jumlah rombongan belajarnya lebih besar daripada jumlah ruang kelas yang ada. Sedangkan penambahan daya tampung diberikan kepada sekolah yang pendaftarnya melebihi kapasitas daya tampung yang ada.

2. Pembangunan Prasarana Penunjang
Peningkatan mutu dan relevansi pendidikan di daerah perlu ditingkatkan melalui upaya pembangunan prasarana pendidikan. Kualitas pendidikan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor mulai dari kualitas guru sampai dengan ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan. Oleh karena itu sangat mendesak pemenuhan prasarana penunjang pendidikan untuk peningkatan mutu antara lain berupa ketersediaan ruang laboratorium, ruang keterampilan dan alat praktek, ruang perpustakaan, ruang komputer serta ruang UKS yang memadai.

3. Pembangunan Unit Sekolah Baru
Pembangunan unit sekolah baru diperlukan untuk mendekatkan jangkauan calon peserta didik dengan sekolah, dalam rangka memberikan perluasan kesempatan dan pemerataan pendidikan.

Ketiga program diatas harus dijalankan dengan mempertimbangkan aspek perencanaan lokasi dengan memasukan unsur biaya yang mempengaruhi permintaan dalam hal ini siswa Dikdas. Banyak sekali kasus dimana sekolah sudah gratis melalui program BOS (Bantuan Operasional Sekolah) tetapi angka putus sekolah di tingkat dasar masih tinggi. Penyebabnya antara lain :
1. Letak lokasi sekolah (USB) yang susah diakses , ditempuh dan butuh biaya tinggi dalam hal transportasi.
2. Kurangnya fasilitas pendukung seperti sarana prasarana pendukung seperti bangku, meja, papan tulis, peralatan praktik dan laboratorium.
3. Faktor ekonomi keluarga, banyak siswa yang harus membantu ekonomi keluarga sehingga mengorbankan pendidikannya.
4. Pertimbangan lingkungan yang kurang kondusif seperti letak sekolah yang jauh dari rumah penduduk, dekat dengan daerah rawan bencana dan sanitasi yang buruk.


Penutup
Pembangunan Prasarana dan sarana pendidikan harus melalui sebuah perencanaan yang baik dengan memperhatikan Teori Lokasi, Teori Pusat Pelayanan dan Teori Pendidikan. Pemilihan lokasi sekolah (Dikdas khususnya) secara komprehensif harus berorientasi pada masa yang akan datang, dengan menggunakan prinsip ekonomi, memperhatikan potensi perkembangan penduduk dalam kurun waktu 25 tahun yang akan datang dan kelangsungan Dikdas itu sendiri. Sehingga kelangsungan penyelenggaraan pembelajaran di sekolah yang bersangkutan akan berkesinambungan dan dapat terhindar dari dampak regrouping sekolah karena faktor kelangkaan peserta didik maupun berlebihnya kapasitas daya tampung sekolah.
Perencanaan penempatan dan pemilihan lokasi sekolah dengan memanfaatkan Teori lokasi, Teori pusat pelayanan dan teori pendidikan dengan melibatkan pemerintah daerah, masyarakat dalam hal ini Dewan pendidikan / komite sekolah dan pihak swasta yang peduli akan dunia pendidikan, diharapkan mampu memberikan jawaban terhadap tantangan dan kebutuhan masyarakat akan pendidikan mencerdaskan kehidupan Bangka pada masa yang akan datang.



Pustaka Acuan


Fasli Jalal dan Dedi Supriadi, 2001, Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta. PT Mitra Gama Widya.

Jerome S. Arcaro, 2002, Pendidikan Berbasis Mutu. Prinsip-prinsp Perumusan dan Tata Langkah. Yogyakarta. Pustaka Pelajar Offset.


Karnadi MPWK Undip . Permasalahan Pembangunan Prasarana Pendidikan. 10 Nopember 2007, 8:59:24


Marsudi Djojodipuro, 1992, Teori Lokasi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.

Tidak ada komentar: